AYORIAU.CO, INHIL - Seminar publik bertajuk “Riau dalam Transisi Energi untuk Keadilan Iklim dan Pelestarian Ekosistem” mengungkap dugaan pelanggaran serius dalam aktivitas pertambangan batu bara oleh PT Bara Prima Pratama di Desa Batu Ampar, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau.
Para narasumber menilai aktivitas tersebut tidak hanya tumpang tindih dengan kawasan hutan, tetapi juga berdampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
Acara yang digelar oleh sejumlah pegiat lingkungan itu menghadirkan tiga narasumber utama, yakni Suryadi dari Lembaga Advokasi Lingkungan Hidup (LALH), Henriyanti selaku warga terdampak dari Desa Batu Ampar, dan Ahlul Fadli, Pjs Direktur Eksekutif WALHI Daerah Riau, dengan Tama bertindak sebagai moderator.
Beroperasi di Kawasan Hutan Produksi Terbatas
Dalam pemaparannya, Suryadi (LALH) mengungkap bahwa lokasi tambang batu bara milik PT Bara Prima Pratama berada di wilayah Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Menurutnya, hal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, karena kegiatan pertambangan di kawasan tersebut wajib memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang sah.
“Izin tambang di wilayah HPT semestinya ditinjau ulang. Kegiatan semacam ini berpotensi menyalahi hukum dan merusak tata kelola kehutanan di Riau,” ujar Suryadi dalam paparannya.
Limbah Cemari Sungai Reteh
Sementara itu, Henriyanti, perwakilan warga Desa Batu Ampar, menyampaikan keluhan masyarakat atas dampak limbah pertambangan yang dialirkan ke Sungai Reteh, salah satu sumber air utama bagi warga.
“Air sungai kini tidak layak pakai lagi. Kami khawatir efeknya terhadap kesehatan dan sumber penghidupan,” ungkapnya.
Temuan ini menandakan adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang melarang pembuangan limbah tanpa pengolahan ke badan air.
Tidak Ada Reklamasi Pascatambang
Selain itu, LALH juga menyoroti kelalaian perusahaan dalam melaksanakan reklamasi pasca penambangan, yang merupakan kewajiban sesuai Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2025.
“Perusahaan tidak boleh lepas tangan setelah menggali sumber daya. Reklamasi adalah tanggung jawab hukum yang wajib dilaksanakan,” tegas Suryadi.
Transisi Energi Berkeadilan
Dalam sesi berikutnya, Ahlul Fadli dari WALHI Riau menyoroti persoalan tambang tersebut sebagai bagian dari tantangan besar dalam proses transisi energi di Indonesia.
Menurutnya, kasus Batu Ampar menunjukkan bagaimana transisi energi yang tidak berkeadilan justru memperparah ketimpangan sosial dan ekologis.
“Transisi energi bukan hanya soal mengganti batu bara dengan energi bersih, tetapi juga memastikan masyarakat di sekitar tambang tidak terus menjadi korban,” jelasnya.
Tiga Pelanggaran Disorot
Dari hasil seminar tersebut, para narasumber menyimpulkan bahwa aktivitas pertambangan PT Bara Prima Pratama di Batu Ampar berpotensi melanggar tiga ketentuan utama :
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 – karena menambang di kawasan Hutan Produksi Terbatas.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 jo. UU No. 2 Tahun 2025 – karena tidak melakukan reklamasi pasca tambang.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 – karena membuang limbah ke Sungai Reteh.
Para peserta seminar mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan evaluasi izin, penegakan hukum lingkungan, serta memastikan perlindungan bagi masyarakat terdampak.
Seminar tersebut menegaskan kembali pentingnya pengawasan pemerintah, transparansi izin tambang, dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat serta ekosistem lokal, terutama dalam konteks transisi energi menuju masa depan yang lebih berkeadilan bagi lingkungan dan manusia.