Paket Pengesahan UU Cipta Kerja yang Dibungkus Propaganda Media

Kamis, 30 September 2021

Penulis : Sulaimansyah

AYORIAU.CO- "Politik dan hukum itu interdeterminan, sebab politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik itu lumpuh". Demikian yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, seorang Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. 

Pendapat beliau sekiranya dapat menggambarkan bahwa politik dan hukum adalah dua kutup yang saling mempengaruhi. Pengaruh ini pun nampak jelas dan tak dapat dipungkiri dominasinya dalam produk hukum yang baru-baru ini dihasilkan parlemen. 

Setiap produk hukum yang dihasilkan oleh DPR dengan kuasanya dalam membuat hukum sudah selayaknya patut diberi perhatian dari berbagai kalangan sebab sebagaimana diketahui setiap perwakilan mewakili kepentingannya masing-masing. 

Namun sejak awal tahun 2020 ini pemerintah beserta DPR RI memperkenalkan Rancangan Undang-undang dengan model baru sebab mengusung sifat Omnibus Law yang belum banyak dikenali dalam sistem hukum Indonesia.

Wacana mengenai RUU Omnibus Law secara resmi disampaikan Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober 2019 dalam pidato pelantikannya sebagai presiden terpilih untuk periode kedua. 

Ditegaskan dalam pidato bahwa ada 2 omnibus law yang disiapkan, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM. Keduanya masuk dalam agenda ketiga prioritas presiden selama masa menjabatnya. Hal ini didasari pertimbangan bahwa segala bentuk kendala regulasi harus disederhanakan, dipotong, dan dipangkas. 

Wacana ini kemudian dikuatkan dengan beredarnya Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian No.HM.4.6/154/SET.M.EKON.2.3/12/2019 pada 12 Desember 2019 yang menyebutkan bahwa Menteri Hukum dan HAM bersama Badan Legislasi DPR RI pada 5 Desember 2019 lalu telah menetapkan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Super Prioritas Tahun 2020. 

Keduanya dilakukan guna meningkatkan iklim investasi dan daya saing dalam berbagai kesempatan. Kemudian pada tanggal 12 Februari 2020, pemerintah secara resmi mengajukan RUU Cipta Kerja sebagai RUU inisiatif pemerintah kepada DPR RI yang telah mengalami perubahan nomenklatur untuk menghindari penyebutan UU CILAKA, melalui Surat Presiden No. R-06/ Pres/02/2020 tertanggal 7 Februari 2020 mengenai penyampaian RUU Cipta Kerja beserta dengan naskah akademiknya.

Menurut penjelasan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyebutkan bahwa proses penyusunan Omnibus Law UU Cipta Kerja sejatinya telah melibatkan banyak partisipasi publik. Pada kluster ketenagakerjaan adapun unsur yang terlibat dalam pembahasan meliputi pekerja/buruh yang diwakili serikat pekerja, pengusaha, kementerian/lembaga, praktisi dan akademisi serta lembaga lain seperti International Labour Organization (ILO). Namun kesan terburu-buru dalam penyusunan UU ini tetap tidak dapat dipisahkan. 

Sebab pada faktanya berdasarkan Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian secara tegas dan jelas menyebutkan tim perumus Naskah Akademik dan RUU Cipta Kerja dilakukan oleh Satuan Tugas Bersama (Task Force) yang dipimpin oleh Ketua Umum KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) Rosan Roeslani dengan Anggota yang berasal dari unsur Kementerian/Lembaga, Pemda, Akademisi serta KADIN sendiri.

Penjelasan terkait tim penyusun naskah akademik beserta draft RUU Cipta Kerja ini tentunya menimbulkan banyak pertanyaan dari publik sebab publik menuntut jawaban yang terang dan jelas kepada siapa suaranya diwakilkan. Oleh karena RUU ini mengatur 11 bidang kebijakan mulai dari penyederhanaan perizinan, investasi, ketenagakerjaan, pengadaan tanah dan segala terkait agraria dan perlindungan lingkungan hingga kawasan ekonomi. 

Masing-masing kluster berdiri sendiri dan tentunya membutuhkan partisipasi yang amat banyak dan memakan waktu yang tidak sebentar. 

Materi muatan yang berbeda-beda dan dijadikan dalam satu undang-undang bukanlah metode yang sering digunakan dalam perumusan hukum di Indonesia sehingga tuntutan untuk memahami RUU Cipta Kerja ini baik dari segi formil maupun segi materiil kian besar dari masyarakat sebab akibat hukum yang ditimbulkan juga tidak main-main.

Keingintahuan dan ketertarikan masyarakat dari berbagai kalangan tentunya diantisipasi oleh media baik media online maupun cetak untuk menghasilkan pemberitaan-pemberitaan terkini terkait omnibus law RUU Cipta Kerja. 

Ditengah hiruk pikuk pemberitaan ini tidak sedikit ditemukan beberapa pemberitaan yang mengandung propaganda dan cenderung memojokkan satu pihak. Hal ini mungkin disebabkan oleh target pembaca dari masing-masing portal media sehingga tidak sedikit banyak insan jurnalis yang mengesampingkan etika dalam menulis berita. 

Keberpihakan suatu media salah satunya dapat dilihat dari bagaimana judul pemberitaan dimuat. Hal ini tentunya menyalahi kode etik jurnalistik yang digunakan sebagai dasar dan pedoman seorang jurnalis dalam menyampaikan informasi.

Pemberitaan ramai terkait pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja mencapai puncaknya pada awal bulan Oktober 2020. Setelah DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja pada 7 Oktober 2020 tepatnya diwaktu malam hari. 

Keesokan harinya muncul berbagai pergerakan yang menentang RUU tersebut untuk disahkan menjadi UU. Bukan hanya pergerakan secara masal di tengah pandemik, namun masyarakat dari berbagai kalangan juga menaikkan tagar #MosiTidakPercaya untuk menyuarakan pendapatnya terhadap kekacauan yang berlangsung. 

Pada saat inilah tingkat literasi seluruh masyarakat melonjak drastis khususnya pemberitaan mengenai omnibus law cipta kerja. Segala bentuk informasi dapat mudah diakses tanpa lagi membedakan keaslian dari sumber informasi yang dimuat.

Media sejatinya memegang kendali yang besar atas tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya pada moment krusial seperti pengesahan UU "sapu jagad" Cipta Kerja. 

Masyarakat akan cenderung memahami segala bentuk pemberitaan yang diberitakan oleh media sebagai informasi yang benar tanpa memastikan terlebih dahulu validasinya dikarenakan pada situasi yang mendesak, segala sesuatu terlihat lebih transparan, termasuk kinerja para lembaga negara. 

Sehingga tidak jarang ditemukan berita-berita yang cenderung mengandung clickbait pada highlight pemberitaannya untuk mengundang minat pembaca.

Mengambil contoh salah satu judul berita online yang sempat ramai yakni "Demo Mahasiswa Menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja Di Daerah Lampung Berakhir Ricuh: Satu Mahasiswa Tewas di Tangan Aparat". 

Berita tersebut pada masanya menyita perhatian publik dengan menggiring opini terhadap perlakuan aparat. Namun setelah ditelusuri ternyata kebenaran berita tidak dapat dipastikan sebab portal berita tersebut menggunakan status facebook seseroang sebagai sumber berita. 

Yang mana hal ini tidak dapat dibenarkan sebab seorang jurnalis dalam membuat suatu berita harus dapat memastikan kebenanaran agar dapat dipertanggung jawabkan. 

Kode etik jurnalistik bukan hanya menerapkan kebebasan pers pada cara kerja seorang jurnalis, namun juga mengatur bagaimana seorang jurnalis harus bersikap dan berperilaku sebagai corong informasi.