
Foto: Jamri Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jambi
AYORIAU.CO - Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir tengah menggulirkan rencana penarikan pinjaman daerah sebesar Rp 200 miliar untuk membiayai sejumlah proyek pembangunan, mulai dari Islamic Center, rekonstruksi jalan strategis, hingga pengadaan meubeler sekolah. Rencana pinjaman ini memang beberapa hari ini menjadi sorotan publik masyarakat Indragiri Hilir beberapa hari ini. Akhirnya Rencana ini dipresentasikan dalam konferensi pers Ketua DPRD dan beberapa anggota DPRD Kabupaten Indragiri Hilir pada 2 Desember 2025 di DPRD Kabupaten Indragiri Hilir. Namun dari perspektif ketatanegaraan, persoalan utama bukan sebatas daftar proyeknya, melainkan apakah DPRD telah menjalankan fungsi konstitusionalnya secara penuh sebelum memberikan persetujuan terhadap kebijakan kemungkinan akan membebani APBD tahun-tahun ke depan sampai lunasnya cicilan pinjaman plus bunga pinjamannya.
Dalam desain otonomi daerah menurut UUD 1945, hubungan antara kepala daerah dan DPRD adalah hubungan dua lembaga yang memiliki legitimasi demokratis. Karena itu, setiap kebijakan strategis yang berpotensi mengikat keuangan daerah dalam jangka panjang, termasuk pinjaman daerah, wajib melalui mekanisme check and balance. Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Keuangan Negara, dan Hubungan Keuangan Pusat Daerah memberi posisi sentral kepada DPRD untuk memastikan bahwa setiap pinjaman tidak hanya legal, tetapi juga pantas, proporsional, dan membawa manfaat publik yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks inilah DPRD tidak selayaknya memberikan persetujuan sebelum seluruh prasyarat kebijakan dipenuhi oleh pemerintah daerah. Penyampaian daftar proyek seperti pembangunan Islamic Center, rehabilitasi pasar terapung, rekonstruksi jalan Kotabaru Sanglar, pembangunan jembatan Sungai Junjangan, hingga pengadaan meubeler sekolah sebenarnya belum cukup untuk menjadi dasar persetujuan. Dalam logika ketatanegaraan, DPRD berkewajiban memastikan bahwa setiap proyek yang akan dibiayai dengan pinjaman memiliki kajian kelayakan, analisis manfaat dan biaya, desain teknis, serta urgensi yang selaras dengan RPJMD. Proyek-proyek yang bersifat rutin atau dapat dibiayai dengan skema lain, seperti pengadaan meubeler sekolah atau perbaikan kantor, semestinya diuji ulang apakah pantas menggunakan dana pinjaman yang beban cicilannya tentu akan menggerus ruang fiskal pelayanan publik sampai cicilan dan bunga hutanya selesai.
DPRD juga wajib meminta analisis kemampuan bayar daerah secara terbuka, terutama nilai Debt Service Coverage Ratio (DSCR) dan proyeksi fiskal jangka menengah. Cicilan per tahun untuk tahun-tahun kedepan hingga lunasnya cicilan ppinjaman plus bunga diperkirakan bukan angka kecil dan berpotensi bisa menekan alokasi anggaran untuk kesehatan, pendidikan, serta infrastruktur dasar lainnya. Tanpa kajian risiko fiskal yang menyeluruh, persetujuan pinjaman justru bisa melampaui prinsip kehati-hatian yang menjadi dasar konstitusional pengelolaan keuangan daerah.
Dari sisi transparansi, DPRD idealnya memastikan bahwa dokumen pinjaman serta syarat-syarat kredit dari lembaga pemberi pinjaman dibuka kepada publik. Keterlibatan warga, dan organisasi profesi dalam uji publik juga menjadi bagian dari tanggung jawab konstitusional DPRD sebagai representasi rakyat. Pinjaman daerah bukan hanya transaksi finansial pemerintah, tetapi keputusan publik yang dampaknya dirasakan seluruh masyarakat, termasuk generasi berikutnya.
Karena itu, sebelum DPRD memberi persetujuan, ada beberapa langkah konstitusional yang semestinya dipenuhi: memastikan kelengkapan dokumen proyek, memverifikasi kemampuan bayar daerah, menilai kesesuaian dengan perencanaan pembangunan, membuka ruang partisipasi publik, dan melakukan uji manfaat serta urgensi secara objektif. Jika langkah-langkah ini belum dipenuhi, DPRD justru berkewajiban menunda, bukan mempercepat persetujuan pinjaman. Langkah ini bukan bentuk penolakan terhadap pembangunan, tetapi cara DPRD menjalankan mandat konstitusional untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan melindungi kepentingan masyarakat.
Pinjaman Rp 200 miliar bisa saja menjadi pendorong percepatan pembangunan, tetapi hanya jika diputuskan melalui proses yang transparan, akuntabel, dan berbasis nalar kebijakan yang benar. Pada akhirnya, beban cicilan tersebut akan dibayarkan melalui uang public khususnya akan membebani APBD Tahun tahun selanjutnya . Karena itu, DPRD harus memastikan bahwa setiap rupiah yang dipinjam benar-benar kembali dalam bentuk manfaat bagi masyarakat, bukan sekadar daftar proyek yang dikebut tanpa fondasi perencanaan yang matang. Jika DPRD mampu menegakkan standar itu, maka mekanisme check and balance daerah bekerja sebagaimana mestinya: melindungi keuangan publik, menjaga akuntabilitas, dan memastikan pembangunan berjalan dalam koridor konstitusi.
Penulis: Jamri, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jambi